Kisah tentang Pekerja Kantoran yang Pindah Kuadran menjadi Juragan -
Kisah ini dimulai dari kehidupan anak
muda bernama Adhika Dirgantara (sebuah nama yang keren). Ia lulusan sarjana
ilmu informatika dari Binus (Universitas Bina Nusantara). Dulunya ia bekerja di
bagian IT perusahaan Pfizer, sebuah perusahaan farmasi tenar berskala
global. Gajinya juga ndak jelek-jelek amat, 5 juta per bulan.
Namun ia merasa, ritual pergi pulang
bekerja sungguh meletihkan. Kantornya di Sudirman Jakarta, sementara ia tinggal
di Bekasi. Setiap pagi ia berangkat kerja naik sepeda motor : menembus lautan
kemacetan yang setiap saat menghadang selama 1,5 jam. Pulangnya juga sami
mawon. Wah kalau begini, saya bisa tua dijalan dong, begitu ia membatin.
Bekerja di perusahaan besar yang
penuh dengan birokrasi juga membuat ia merasa tak bisa bebas berkreasi. Terlalu
banyak aturan dan hirarki. Ia juga cuma pekerja kelas rendahan. Ia jadi merasa
sekedar sekrup dari perusahaan tempatnya bekerja. Sekedar menjadi sekrup dari
mesin kapitalisme global yang terus menderu.
Kalau hidup kayak gitu terus, kok
rasanya ndak asyik ya. Begitu ia kembali membatin. Kayak sayur lodeh tanpa
garam. Hambar begitu. Hmm.
Begitulah pada usia 25 tahun, setelah
tiga tahun menjadi pekerja kantoran, ia memutuskan untuk resign. Resign gitu
lho (hayo siapa yang mau ikutan resign, ngacung).
Dengan bekal tabungannya, ia langsung
buka usaha dibidang konsultan IT (sebuah pilihan yang lumayan pas dengan
keahliannya). Namun ternyata ia hanya bisa dapat satu klien dengan nilai projek
sekitar 30-an juta. Setelah itu NOL besar. Ndak ada lagi order masuk.
Pelan-pelan usaha konsultannya itu
bangkrut. Kenapa? Sebab ia tidak memiliki keahlian untuk MENJUAL kepada calon
klien (catatan : ini banyak terjadi pada teman saya yang juga ingin buka usaha
menjadi konsultan manajemen. Dikira mencari klien itu gampang. Emang klien dari
Hongkong).
Adhika lalu banting setir. Dengan
modal tabungannya yang tersisa ia kemudian membuka bisnis toko tinta isi ulang.
Ruko sudah disewa. Barang-barang sudah dipajang. Brosur promosi sudah disebar.
Toh ternyata usaha ini hanya berjalan 6 bulan, dan lalu bangkrut lagi.
Pembelinya sepi (hasil evaluasi menunjukkan lokasi ruko yang tidak strategis,
terlalu sempit sehingga terkesan tidak bonafid, dan kalah dengan pesaing yang
ada di jalan yang sama, dengan toko yang lebih megah).
Dua kali gagal. Hmm. Tabungan makin
tipis. Hmm. Orangtuanya juga mulai panik. Hmm. (iih, kok ehm-ehm terus
sih).
Ditengah-tengah situasi yang kepepet
itulah, mendadak muncul “eureka momment” : aha, saya kan bisa bikin website,
dan saya kan asli Pekalongan yang jago bikin batik (the power of kepepet itu
ternyata ampuh juga ya).
Begitulah, ia lalu memadukan dua
elemen vital itu yakni : kemampuan membikin website dan jaringan kenalannya
dengan para juragan batik Pekalongan, untuk membuka bisnis online jualan batik.
Lalu abrakadabra : lahirlah online store batik paling keren se Indonesia.
Alhamdulilah, karena keahliannya
dalam internet marketing, dan akses yang luas akan produk-produk batik yang
bagus dengan harga relatif murah, ia bisa membuat bisnis yang ketiganya ini
SUKSES. Omzetnya sudah besar. Dan bahkan ia kini juga melebarkan bisnis
online-nya untuk berjualan emas
batangan (alhamdulilah, sukses juga).
Ada tiga pelajaran penting yang bisa
kita petik dari kisahnya. Pertama, makin muda usia ketika Anda memulai usaha,
makin bagus. Anda jadi punya cadangan waktu yang agak panjang ketika harus
menghadapi kegagalan demi kegagalan (Adhika memutuskan resign dan memulai
bisnis sendiri di usia 25 tahun, usia yang tergolong masih belia).
Kedua, kegagalan adalah sebuah
lelakon yang kudu dijemput tanpa rasa takut berlebihan. Jika Anda berani
sukses, mestinya juga harus berani gagal. Adhika mengalami dua kali
kegagalan, dan ia tetap terus jalan (dan bukan ragu lalu kembali lagi menjadi karyawan.
Kembali menjadi sekrup).
Ketiga, mimpi yang mau dijahit itu
harus terus dikibarkan : mimpi menjadi juragan sukses. Adhika bilang, tanpa
mimpi itu mungkin ia mudah menyerah kalah. “Impian yang berkibar-kibar itu yang
membuat saya bisa terus bersemangat menjalani semua tantangan”.
Ia mengucapkan kalimat itu di hadapan
saya dengan penuh keyakinan. Saya kemudian hanya bisa memeluknya erat-erat.
Sebagai kakak kandungnya, saya cuman bisa merasa bangga.
http://strategimanajemen.net/2012/03/12/kisah-tentang-pekerja-kantoran-yang-pindah-kuadran-menjadi-juragan/#sthash.XRmQuH8j.dpuf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar